courtesy : flickr.com |
Hari itu saya dengan sengaja pergi ke rumah eyang. Sudah lama saya tak jumpa, ada rasa rindu yang menempel erat kepada beliau. Duduk saya diruang tamu saat senja tiba, berbincang aneka ragam topik yang kami sajikan. Mulai dari kegiatan saya sehari-hari, kejadian unik yang ada dirumah, sampai masalah yang sedang saya hadapi dikampus saat ini. Dan sampai akhirnya terlontar beragam cerita dari mulut eyang tentang kisah dahulu kala, saat dimana saya belum tampil dimuka bumi. Pertama-tama beliau menceritakan tentang ulah pakde saya sewakti dia duduk dibangku STM. Tiba-tiba saja dia membawa selembar surat peringatan dari sekolah yang berisi tentang larangan dirinya mengikuti ujian umum disekolahnya. Selidik demi selidik akhirnya terkuak juga misteri itu. Ia tidak diperkenankan mengikuti ujian karena ia belum membayar uang SPP saat itu, padahal eyang sudah memberinya tepat waktu.
Untungnya si pakde mau terus terang tentang arah mengalirnya uang SPP itu. Ternyata ia pake untuk membeli baju kotak-kotak (mungkin panel sebutan dijaman sekarang). Ia membeli itu karena ia malu selalu memakai baju yang sudah usang, kadang-kadang juga seragam sekolah ia pergunakan untuk main kerumah temannya. Memprihatinkan memang. Coba kita saat ini, mau ini itu tinggal bilang. Kalau ada uang langsung Lets go !. Beralih lagi ke cerita lainnya. Sebelum keluarga Ibunda menetap di Depok, terlebih dahulu mereka tinggal di kawasan kumuh Bukit Duri. Eyang memberikan gambaran secara kasar tentang kondisi rumah mereka. Lebih tepat dibilang gubuk mungkin kalau saat ini. Sudah dinding dari bambu, kondisi rumah juga yang sudah doyong membuat mereka terkadang sigap dan terjaga dari tidurnya jikalau hujan angin turun dengan derasnya.
Kebetulan eyang kakung bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Enggak tau gimana cerita pastinya, tapi bagi mereka PNS mendapatkan kesempatan untuk memiliki rumah di kawasan Perumnas. Tepatnya di kota Depok ini. Walaupun tidak semewah istana, tapi lebih baiklah dari rumah yang terdahulu, yang tidak luput dari lumpur jika hujan. Rumah diperumnas berdinding batako, ya jaman dulu itu sudah cukup layak. Tetapi tidak mudah untuk mendapatkannya, harus ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi eyang kakung demi meraih rumah impian. Susah payah beliau berjuang supaya persyaratan itu terpenuhi. Dan sampai akhirnya beliau dapat melaju ke langkah selanjutnya, tetapi semangat beliau tiba-tiba terpatahkan oleh omongan si pengurus surat-surat tersebut bahwa persyaratan masih kurang.
Walau hampir menyerah beliau tetap tabah dan terus berusaha. Yap .. dapat juga kunci rumah itu, dengan hati riang beliau pergi untuk melihat lokasi. Tergesa-gesa beliau membuka pintu rumah tersebut dengan kunci yang sudah diberi. Tiba-tiba tanpa sengaja kunci tersebut patah, untungnya ada duplikat. Mungkin ini terjadi karena semangat dari sebuah harapan yang hampir tercapai. Bisa dibayangkan betapa bahagianya hati beliau saat itu. Dapat memberikan sebuah tempat tinggal yang layak untuk keluarganya dengan perjuangan yang tidak mudah tentunya. Oiya kata eyang juga rumah ini harus dibayar uang kontraknya setiap bulan sebesar delapan belas ribu rupiah. Uang segitu pada saat itu tentu amat besar nominalnya.
Disetiap bulannya kadang eyang mengalahkan uang bayaran sekolah anaknya untuk membayar uang kontrak rumah, ataupun sebaliknya. Yaa yang penting mereka dapat hidup selayaknya. Setelah mendengar cerita ini, saya sangat bangga kepada orang tua saya. Walaupun mereka memberi kami tempat tinggal yang tidak begitu besar, tapi saya yakin, harga rumah di era ini tidak semurah harga kuaci kan ? Oleh karena itu perjuangan untuk memiliki rumah ini juga sangatlah berat. Hidup prihatin dijaman sekarang memang di iringi rasa gengsi untuk kalian yang terbiasa hidup semua ada. Tapi bila nanti kalian sudah mendapati waktu untuk meniti hidup yang benar-benar berat untuk dijalani, hidup prihatin itu salah satu kunci besar untuk meraih kebahagian dihari kelak.
Oleh : Bang Adam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar