Jumat, 31 Desember 2010

Makna Dahulu dan Esok

Setiap orang mempunyai kisah masa lalu, setiap orang memiliki rangkaian potret terdahulu. Kisah masa lalu mungkin ada yang mengasumsikan sebagai kisah-kisah terkelam dalam hidupnya, kisah yang sudah tidak perlu untuk dibahas lagi, kisah yang tidak perlu untuk diingat kembali, sesuatu yang tabu untuk diceritakan. Ada juga sebagian orang yang mengartikan masa lalu itu sebagai memori yang terindah, yang tidak bisa dilupakan, yang sangat anggun untuk dibahas, yang mahal harganya bila dibandingkan dengan segenggam permata, sebuah cerita yang teramat klasik untuk disembunyikan. Itu semua adalah dampak bagaimana jalannya masa lalu dari masing-masing orang.

Apa bedanya masa lalu dengan masa depan. Hanya direntangkan oleh waktu, hanya dibatasi oleh ruang dimensi. Masa depan juga dapa menjadi masa lalu apabila masa ini telah terlewati. Apakah wajah-wajah yang pernah ada dalam masa lalu dapat dikategorikan sebagai perusak atau mungkin penyatu ketentraman hati. Dejavu. Kata ini selalu dihubungkan dengan masa lalu yang terulang kembali. Tulisan kali ini tidak panjang, tidak berekor banyak. Saya hanya ingin melukiskan apakah kata pada awal alinea pertama itu merupakan masa lalu karena lumayan terjadi lebih dahulu dari kata terakhir yang saya ketik pada akhir paragraf.

Masa lalu dan masa depan itu tidak terbentang jauh. Jadi jangan sia-siakan waktu yang ada.

Oleh : Bang Adam

Kamis, 30 Desember 2010

Remaja Akhir Pekan

Dalam satu minggu terdapat tujuh hari, ada hari senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu kemudian minggu. Diantara hari-hari itu, dari hari senin sampai hari sabtulah hari yang dikenal sebagai waktu beraktifitas diluar rumah pada umumnya, tidak terlepas juga dengan anak sekolah. Enam hari waktu yang cukup banyak, mungkin juga terlalu banyak untuk berada dibangku sekolahan, karena memang itu sudah prosedurnya. Tidak heran apabila terdapat block merah pada satu tanggal di deretan hari-hari dalam satu minggu tersebut membuat mereka girang untuk berleha-leha melupakan sejenak hal-hal teoritis tentang pendidikan formal. Enam hari juga merupakan waktu yang cukup membuat otak mereka serasa seperti jalanan ibukota setiap paginya, yang peluh, yang sesak, yang berhimpitan, nyaris tidak ada ruang.

Selain membagi kemampuan otak untuk berfikir, mereka juga menggunakannya untuk mencari ide ataupun usul tentang kegiatan yang akan dilakukan dipenghujung minggu. Mulai dari menyisihkan uang jajan setiap harinya, mengatur rencana, memborong kepingan film atau apalah itu yang dapat membalas kedisiplinan yang mereka terapkan setiap harinya. Entah ini fenomena atau memang sudah menjadi tradisi sejak zaman dahulu dulu, dulu kala, lampau sekali. Ketika waktu sudah menginjak hari sabtu lebih tepatnya sabtu sore sampai jumpa hari minggu, sekumpulan remaja berhamburan keluar rumah entah itu sekedar main ke rumah teman mereka, pergi ke pusat perbelanjaan, sampai berkencan dengan kekasih mereka. Ini sudah sangat tidak langka terjadi.

Wajah senang, wajah tanpa beban, wajah yang elok untuk dipandang mereka suguhkan kepada setiap tepi jalan, menggambarkan betapa hausnya mereka untuk meminum udara segar tanpa adanya rumus dan sejarah bangsa yang tercetak pada ratusan halaman. Menggantikan buku-buku latihan dengan menu makanan yang terdapat ditempat makan bertipe muda, menggunakan rumus matematika untuk menghitung keuangan yang mereka miliki agar tidak tercecer segala hasrat untuk menikmati sesuatu. Tidak lagi dihadapkan papan putih besar yang digoreskan tinta oleh pahlawan tanpa tanda jasa melainkan dihadapkan dengan sebongkah layar besar yang menampilkan sejumlah film teranyar yang sedang digandrungi oleh kalangan belia ini.

Ketika waktu sudah menjajah malam, mulailah mereka memasang paras yang kecewa akan berakhirnya satu hari yang benar-benar menggoreskan kesan bahagia bagi mereka. Kembali mereka akan menghadapi kepenatan yang selalu terjadi setiap minggunya. Kembali mendengarkan perintah yang terlontar dari mulut sang ibu untuk selalu belajar. Kembali lagi mereka berjumpa dengan kumpulan rumus yang mereka anggap teramat membosankan dan membuahkan sakit pada kepala. Sampai bertemu lagi sabtuku yang teramat ku nanti, sampai bertemu kembali kisahku yang terbatas hari, sampai bertemu lagi kenangan ku yang selalu akan seperti ini.

Oleh : Bang Adam

Rabu, 29 Desember 2010

Romansa Beralmamater

Dulu semasa belia saya, selepas saya SMA, setelah saya melaksanakan UAN, delapan belas sudah umur yang saya miliki. Ketika itu turun perintah dari ibunda untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, berhubung terjadi kelemahan pada otak saya sehingga muncul keyakinan saya yang teramat tinggi untuk tidak mungkin mendapati peruntungan pada universitas negeri. Bergulirlah saya ke sana, dimana sekarang saya memiliki civitas untuk mendapati sebongkah map besar berisikan kumpulan kertas yang mereka sebut formulir. Alhasil berlayarlah saya mengayun pelan dayung pendewasaan pengetahuan disana.

Saya senang dimana saya harus bangun pagi untuk berada dilingkup kampus tepat waktu agar tidak mendapat hukuman pada saat ospek berlangsung dengan kepala dalam keadaan rambut setebal satu sentimeter. Saya senang dimana ketika saya harus menyanyikan mars wajib dibawah pimpinan seorang senior. Saya senang dimana saya harus berpanas-panasan menunggu acara ini selesai. Hari itupun berlalu dengan hasil almamater berhasil saya panggul dipundak. Saya senang ketika hari pertama kali kuliah, itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Saya senang ketika saya diperintahkan salah seorang dosen untuk memperkenalkan diri sampai domisili saya. Saya senang ketika saya mendapat teman pertama didalam ruang kelas saya. Saya senang dapat duduk dikursi yang berbeda dengan kursi saya beberapa bulan sebelumnya.

Saya bahagia ketika saya mendapati istirahat pertama saya sebagai seorang mahasiswa. Saya bahagia walaupun harus berpindah-pindah lantai dan gedung untuk mendapati dosen yang sesuai didalamnya. Saya bahagia ketika saya mencetak sebuah kartu yang berisikan mata kuliah saya di semester awal. Saya bahagia ketika harus memfotokopi bahan kuliah yang mengharuskan saya mengocek kantong untuk merelakan rupiah tersebut menjadi puluhan kertas. Saya bahagia ketika saya mendapati kuis di setiap semesternya. Saya bahagia ketika saya semakin banyak memiliki teman disana. Saya bahagia ketika saya hanya dapat mengisi perut saya dengan makanan seadanya karena uang jajan yang sudah menipis.

Saya rela ketika saya harus mendorong motor saya keluar kampus ke arah bengkel berada karena ban bocor. Saya rela ketika saya bergegas ke kampus tetapi tidak melakukan apapun karena dosen tidak dapat hadir. Saya rela disaat saya membolos dari perkuliahan karena rasa malas benar-benar sudah membabi buta. Saya rela ketika saya harus pulang larut karena saya asik bermain di kosan teman. Saya rela ketika saya harus menempelkan jemari saya di atas mesin ketik. Saya rela ketika saya diusir dari dalam ruangan karena ada yang tidak sesuai pada diri saya. Saya rela ketika saya harus mengalah untuk keegoisan kawan. Saya rela ketika saya menyayangi teman-teman saya. Saya rela harus menguras isi dompet untuk mentraktir teman.
Saya ikhlas dimana saya harus dicontek ataupun mencontek ketika ujian berlangsung. 

Saya ikhlas tidak berada di dalam kelas secara rutin ketika ujian tengah semester telah di lewati. Saya ikhlas ketika saya harus bercanda dan mengobrol ketika dosen sedang menerangkan. Saya ikhlas ketika saya membuat teman saya cemberut ataupun marah karena ulah yang saya buat. Saya ikhlas ketika saya mendapat nilai lebih buruk dari teman saya. Saya ikhlas memiliki IP hampir memasuki kepala tiga. Saya ikhlas ketika saya harus memainkan gitar dan bernyanyi dilingkungan kampus. Saya ikhlas ketika saya harus menghibur teman saya yang bermuram durja. Saya ikhlas ketika saya bolak-balik ke kosan teman-teman saya untuk menghasilkan kumpulan tulisan yang berbatas semester. Saya Ikhlas ketika saya diharuskan membuat penulisan ilmiah yang menguras materi maupun tenaga. Saya ikhlas ketika saya dihadapkan dengan dosen pembimbing untuk melancarkan perjalanan saya untuk sidang diploma. Saya ikhlas ketika saya harus mempresentasikan kumpulan kata-kata saya yang tersusun rapih dengan beberapa bab.

Saya bangga berada dibawah atap bersama kalian dan saya bangga bisa berada dekat diantara kalian.

Oleh : Bang Adam

Selasa, 28 Desember 2010

Sesak Nafas Nominalku

Langit sudah gelap gulita, bintang pun nampak jelas diangkasa. Detak jarum jam pun semakin jelas terdengar karena suasana yang sudah benar-benar sepi. Berdiri saya dibalkon kamar berpegang tangan saya pada tembok penyangga balkon yang dingin karena diterpa angin malam yang kalau dirasa bagaikan menembus rusuk. Suara cicak terdengar seakan merambat melewati dinding. Terpaku muram wajahku apabila mengingat kondisi yang sedang saya alami, entah ini karena melesetnya perhitungan saya terhadap dia atau memang kesalahan saya menggunakannya secara berlebihan tanpa rasa sadar yang tinggi. Hal ini membuat saya berulang kali menarik nafas dalam-dalam, terasa seperti berpakaian safari tetapi tidak memakai celana dalam. Terasa seperti menaiki mobil mercedes benz tetapi tanpa roda, terasa seperti anak baru gede yang tidak memiliki facebook.

Resah, gelisah, mumet hanya itu yang bisa saya rasakan. Nafsu makan berkurang setiap sarapan walaupun akhirnya habis juga menu yang disajikan ibunda. Kembali saya melangkah ke dalam kamar, menutup pintu lalu saya rapatkan kunci. Tumpukkan bantal lalu menyandarkan kepala tepat diatasnya. Terbelalaklah mata saya menatap bola lampu, mengingat hal yang dulu saya pernah lakukan. Tersenyum saya mengendarai motor ke sana ke arah bengkel, memanjakan motor kesayangan ibarat wanita yang haus akan hasrat untuk ke salon. Teringat lagi saat masuk ke tempat makan mahal, menghabiskan waktu didalam sana sampai benar-benar bosan. Teringat lagi saya yang sering menghampiri dagangan orang untuk sekedar mencicipi dan membungkus beberapa darinya untuk dinikmati dirumah.

Tapi kini penyesalan yang kurasa, entah sikap ini wajar atau mungkin saya yang tidak sportif terhadap keadaan. Kasihan ia sekarang, mungkin ia sakit karena perutnya kosong, mungkin ia sendiri tidak ada yang menemani, mungkin ia juga merasa tersingkirkan karena saya yang sudah jarang menjenguknya dengan alasan karena saya sudah tau kondisi ia sekarang, jadi tidak perlu lagi saya melongoknya. Mungkin sekarang ia kurus, kempes, tidak tebal lagi seperti hari kemarin. Memang benar penyesalan datang belakangan, saya sangat menyesal, saya sedih, saya terharu.

Sekarang kau tergeletak lemas jauh didalam sana, entah kapan saya dapat mengisimu kembali dengan puluhan lembar rupiah yang memiliki nominal lima digit angka. Entah kapan saya dapat menggenggammu kembali sambil tersenyum saat membuka dirimu untuk mengeluarkan sejumlah uang dikarenakan harus membayar sesuatu. Karena kesalahanku atau mungkin memang keterlibatan kebutuhanku, kau harus menerima keadaan ini. Mari kita panjatkan kembali doa kepada Tuhan agar saya dan kamu bisa bersama lagi meraih kebahagian dengan rupiah yang ada didalam tubuhmu. Saya sadar tidak bisa hanya doa saja yang dapat mengembalikan kebahagiaanmu, tetapi juga harus ada usaha yang mendukung untuk kita seperti dulu lagi. Dompetku nan malang.

Oleh : Bang Adam

Senin, 27 Desember 2010

Angkutan Perkotaan

Saat itu sudah hampir petang, saya berada disebrang kampus saya untuk berniat menyetop angkot kemudian menungganginya, dengan kata lain saya berperan sebagai penumpang. Kenapa hari itu saya naik angkot, karena saya tidak membawa motor saat berangkat kuliah. Jadi begini ceritanya, saya punya jadwal kegiatan untuk mengantar kawan saya ke bandara pada waktu pagi buta, karena dia ingin terbang ke pulau Maluku, iya benar itu Ambon. Kondisi waktu itu saya dengan sejumlah kawan lainnya yang mempunyai misi sama untuk mengantar dia ke bandara hanya menggunakan dua mobil. Kami sama sekali tidak membawa motor ke tempat dimana kami janjian untuk menjadikan tempat itu sebagai titik kami berangkat ke sana, ke bandara. Ya sudah untuk jam-jam kedepannya saya akan mencoba mandiri tanpa didampingi kuda besi saya untuk mondar-mandir kesana kemari. Kita lompati saja cerita kami dibandara.

Kami melakukan arus balik ke kota tempat tinggal kami setelah kawan kami take off sekitar pukul lima pagi. Dingin saya rasakan, mengantuk pula. Tetapi pada pukul delapan kurang setengah jam saya ada mata perkuliahan sampai sore, alhasil saya di drop dekat kampus. Tidak terasa jarum jam sudah melakukan kegiatan marathonnya dan hari pun sudah nyaris senja. Bergegaslah saya pulang, saya tidak punya rencana untuk nongkrong-nongrong dulu di kampus karena mata saya yang sudah manja sekali ingin diperhatikan keredupannya. Sekitar tiga menit saya menunggu sampai akhirnya tiba juga mobil carry warna biru. Lekas angkat kaki saya sembari menaiki kotak besi itu. Didalam mobil terdapat delapan pasang mata yang menyambut saya, terkecuali si sopir karena ia memandang ke arah depan. Duduklah saya di dekat pintu dengan tujuan dapat merasakan angin yang numpang lewat.

Terdengar ada dua orang membuka pembicaraan, ternyata mereka adalah rekan kerja. Berceritalah mereka tentang kelakuan yang mereka lakukan didalam kantor, tertawa, cekikikan, kadang mereka memasang paras serius untuk pembicaraan tertentu. Mungkin tentang cowok, maklum mereka itu wanita. Selagi mereka berdua sibuk bersenda gurau, berbeda dengan yang lainnya, terlihat diam lebih fokus kepada ponsel masing-masing. Mungkin sedang menanti pesan maupun sedang mengirim pesan. Saya pun meninggalkan pandangan saya ke arah mereka. Lumayan lama waktu berselang, akhirnya kami sampai didepan terminal, ini perhentian terakhir. Seusai turun saya memilih untuk berjalan agak ke depan supaya cepat mendapat angkot, tidak mengetem.
Saya dapati angkot yang sudah lumayan terisi penuh, hanya menyisahkan dua bangku. Jelas penuh ini kan sudah waktu orang pulang kerja, sekolah, maupun kuliah seperti saya. Tidak berbeda halnya dengan keadaan angkot sebelumnya, riuh suara mengisi ruang penumpang. Yang lebih menarik perhatian saya adalah ibu dan anak kecil ini, sejak tadi anaknya merengek terus, mungkin ia tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Terlihat ibunya dengan sabar menjelaskan alasan kenapa tidak dipenuhi permintaan anak itu, kedengaran seperti “mama lagi engga punya uang, mama janji nanti kalo mama punya uang kita beli kapal-kapalan yang tadi ya”. Perlahan tapi pasti penjelasan dari ibunya membuat anak ini seketika diam dari tangisnya.

Lima menit berselang terlihat remaja memakai seragam dan memakai rok abu-abu berbicara keras di ujung ponselnya, sepertinya sedang ribut dengan pacarnya. Tanpa ada raut wajah meminta izin kepada penumpang lain untuk marah-marah, ia pun melanjutkan melempar kekesalannya melalui kata-kata yang hampir kasar didengar. Hah mata saya semakin tidak kuat menahan jaganya, akhirnya terlelaplah saya disitu. Kurang lebih sepuluh menit kemudian saya terbangun, banyak hal yang berubah saat saya tidur. Angkot sudah lumayan kosong, tinggal empat orang yang tersisa, tidak ada ibu dan anak tadi, tidak ada remaja tadi, yang ada satu wajah baru yang duduk dibelakang supir.

Saya bergegas menyiapkan ongkos karena sudah waktunya saya untuk pamit dengan penumpang lain. Akhirnya sampai juga, pegal dan pusing yang saya rasa saat itu. Ternyata permasalahan yang ada dalam keseharian orang-orang boleh juga dituangkan didalam angkutan perkotaan. Entah itu masalah asmara sampai kasih sayang antara ibu dan anak, ini ternyata bukan hal yang tabu dilakukan, kayanya juga tidak ada hubungannya sama pasal-pasal kebebasan berpendapat. Tapi inilah hidup di kotaku, di negriku. Dinding besi angkutan kota dapat menjadi teman yang baik untuk menerima curahan hati dari para penumpang.

Oleh : Bang Adam

Kata "Keren"

Matahari sudah mulai kembali keperaduannya, dimana sudah waktunya sang rembulan memainkan perannya di alam semesta. Dengan maksud lain dapat dikatakan hari ini sudah senja. Tidak banyak hal menarik yang saya dapati hari ini, hanya menyelonjorkan tubuh saja di sana dan sini, hanya menyaksikan televisi, hanya menyantap masakan ibunda, hanya menempelkan jempol pada keypad handphone, hanya melihat kegiatan jarum jam, hanya mendengarkan bisikan tetangga yang berbicara dengan anggota keluarganya, hanya memikirkan rencana masa depan, yaa hanya pola pikir bocah berumur 21 tahun.

Sudah 2 hari ini ada satu hal yang terombang ambing tidak jelas apa memang mesti harus kudu saya pikirkan, atau ini hanya klise negatif yang benar-benar nyata apabila saya rendam dengan formula pada percetakan foto, entahlah. Tetapi memang hanya hal ini yang saya coba tanyakan kepada Dini dan beberapa makhluk yang lainnya maupun diri saya sendiri, sehingga memunculkan beranekaragam argumen. Sebenarnya hanya satu kata yang tidak penting untuk dibahas, tetapi satu kata ini pula yang memaksa untuk menjadikan dirinya ini penting untuk dibahas. Yaa itu dia kata “KEREN”, saya juga heran, mengapa kata sepele ini jadi begitu megah dalam pikiran saya.

Yang saya tanyakan terhadap kata ini adalah bagaimana kata keren ini dapat hinggap pada wujud orang lain, kenapa kata ini cocok dijadikan predikat untuk orang lain, kenapa kata ini tidak dimiliki setiap orang, apa karena kata keren ini memiliki sifat yang pilih kasih. Apa mungkin kata keren ini egois. Dini bilang keren itu dari sudut mana orang melihatnya, mungkin innerbeauty atau juga dari bakat yang dia miliki. Lantas apabila orang yang mempunyai innerbeauty buruk tetapi dia memiliki talenta yang berlipat ganda apakah dia dapat disebut keren. Tetapi secara kenyataan perilaku ini menjanjikan orang tersebut untuk dihadiahi cacian dan makian dari individu lain.

Ada juga orang yang innerbeauty good dan memiliki segelintir talenta, karisma, dan digilai wanita. Memang pernah dia menjadi hot news di seantero sarang garuda ini. Tetapi pada suatu hari kenyataan pahit yang entah terekayasa atau tanpa faktor sengaja kehidupan pemuda ini berubah drastis, yaa video mesum yang menyeret dirinya untuk bersangkutpaut dengan penegak hukum dan melibatkan beberapa public figur lainnya. Predikat keren yang ia pernah sandang apakah dapat luntur. Atau apakah dapat hilang begitu saja tanpa pamit secara sah. Atau kata keren tersebut akan tetap selalu menyebadani hayatnya sampai masalah yang sedang ia alami ini kelar, entah itu 1 ataupun 12 tahun vonis dari sang mahkamah. Akankah keren itu dapat memperbaiki citra dari dirinya. Atau memang kata keren itu hanya sebuah kata yang tidak untuk dijadikan tolak ukur untuk para pasang mata dalam menilai estetika dari seorang lain.

Kalau bukan kata keren yang dijadikan tumpuan standar dari perisai ke-wah-an seseorang lalu kata apa yang harus menggantikan kata keren untuk berputar-putar dikepala tanpa ada jawaban. Apa mungkin kata jujur, memangnya masih ada yang memandang kejujuran itu pencerminan wajah seorang lain. Di era seperti ini kata jujur pun sudah menjadi sebuah kata yang harus dicium tajam oleh setiap individu agar mereka tidak terkecoh oleh kata jujur itu sendiri. Jika bukan kata jujur lalu kata apalagi yang harus dijadikan pedoman untuk berani tampil dimasyarakat.

Mungkin memang naifnya jangkauan pikir saya yang membuat otak saya mengendalikan jemari untuk menyusun rangkaian abjad menjadi sebuah tulisan yang tidak ada artinya. Bukan itu juga yang saya tuju, ini hanya perwakilan dari benak saya yang tidak bisa di-digitalisasikan menjadi sebuah proyektor tirani untuk makhluk lain. Bukan kata KEREN mungkin yang harus diasumsikan untuk menjadi seorang sempurna. Namun kata MAMPU mungkin dapat dikandidatkan menjadi sebuah kata yang dapat menyelimuti semua jaringan saraf keotak setiap manusia agar mereka mampu melakukan segala hal yang bermanfaat. Saya sebenarnya terpingkal-pingkal melihat kelakukan saya menulis kalimat-kalimat seperti ini, hey seperti kamu sudah benar saja bisik setan yang mengorbit di diri saya. Saya hanya ingin memiliki sentilan kecil untuk jaman, agar tidak termakan oleh sebuah kata yang dapat menghambat kemampuan kalian untuk mengembangkan diri.

Rasulullah tidak butuh predikat keren tapi beliau dapat mengisi kolom pesona dihati setiap umatnya, karena tidak semua orang KEREN itu dapat terlihat KEREN dimata Tuhan .
Hey dengar percikan air dibak mandi sudah menggoda untuk melangkahkan kaki saya menghadap dirinya. Jingga dan biru laut yang memayungi kota ini. Sudah terlalu senja untuk membicarakan suatu masalah. Sungguh banyak permasalahan yang muncul, Cuma Dia Yang Maha Tau yang dapat menjelaskannya dan memecahkannya.
Oleh : Bang Adam

Minggu, 26 Desember 2010

Cerita Si Hamster

Waktu itu suatu pagi di hari merah, maksud saya tanggal merah pada kalender. Ini sudah lumayan siang tetapi banyak juga yang mengatakan ini masih terlalu pagi untuk hari libur. Hari ini adik saya mempunyai rutinitas yang sudah menjadi kewajibannya dalam satu waktu dalam seminggu, membersihkan rumah bagi si peliharaan ibunda dan adik bontot saya, yaitu kandang hewan kecil yang mereka beri julukan Gayus dan Tambun, mengapa mereka diberi nama seperti seorang tokoh yang pernah malang melintang diharian ibukota maupun media elektronik. Karena pada waktu ibunda membeli mereka, nama itulah yang sedang gencar dipermasalahkan dan diberitakan. Mereka itu pasangan, ada jantan maupun wanita tentunya. Gayus berperan sebagai sang jantan sedangkan Tambun sebagai betina, karena memang sudah begitu kodratnya.

Mereka mempunyai sebutan hamster, ohh ternyata itu nama dari spesies hewan tersebut. Kata hamster terdengar seperti merk-merk pakaian mahal yang dibuat menggunakan bahan elite yang sangat sulit didapat di bagian negri manapun. Awalnya menurut saya hamster itu sama dengan marmut, namun argumen saya rapuh dan mudah ditentang oleh adik saya, menurutnya hamster itu ya hamster sedangkan marmut ya marmut, ia memberikan alasan yang masuk akal mengenai perbedaan volume tubuh kedua jenis hewan tersebut. Hamster itu mempunyai tubuh mungil dan akan seperti itu sampai uzur, berbeda dengan marmut yang masih bayi pun sudah mempunyai postur tubuh lebih besar dari hamster dewasa. Entah benar atau tidak analisa dari bocah yang duduk dikelas satu SMP ini, namun saya dapat menerima masukannya dengan alasan logis untuk dicerna.

Pertama kali saya melihat saya pikir mereka ini masih berumur balita tetapi ternyata mereka ini sudah pasutri katanya, dan bisa saja suatu hari sang betina akan melahirkan. Wow ternyata memang sangat mungil tubuhnya. Mendengar kabar bahwa mereka ini adalah pasangan langsung saja terlintas dipikiran saya, apakah hamster yang dikatakan sebagai pejantan memiliki kewajiban kepada sang betina, seperti halnya manusia sebagai suami untuk memberi nafkah kepada istrinya. Tetapi mereka kan didalam kandang, apa dong yang harus dilakukan sang jantan didalam kandang. Apa mungkin bercocok tanam, tetapi serutan kayu yang dipakai sebagai alas dari rumah mereka tidak mengandung unsur hara yang cocok untuk menanam sesuatu.
Apa  mungkin sang jantan memiliki laptop dan ia hanya berada diruang kerjanya sambil membuat laporan untuk dikirim melalui internet kepada atasannya dikantor setiap hari. Atau mungkin si jantan ini hanya menghibur sang betina didalam kandang agar si betina dapat tersenyum dan tidak akan merasakan jenuh dengan keadaan mereka, sambil menghibur si jantan mengimami betina untuk terus berdoa agar sang majikan mereka ingat untuk memberi mereka biji bunga matahari secara rutin yang berperan sebagai asupan gizi untuk mereka. Lain hal dengan cara pandang saya kepada si betina, sudah kodrat kaum betina atau wanita untuk mengandung dan melahirkan, jadi saya dapat menoreh suatu argumen untuk si betina bahwa ia adalah ibu rumah tangga.

Lantas apabila mereka akan mempunyai anak, pada hari sebelum kelahirannya apakah mereka mempersiapkan segala sesuatu yang harus disiapkan oleh para orang tua dalam rangka menyambut kedatangan anaknya di dunia. Seperti mungkin popok atau susu dan sebagainya. Mungkin saya sudah gila membahas hal yang dipandang sebelah mata ini atau bahkan tidak terlihat sama sekali untuk dijadikan konsumsi manusia umunya dalam bermasyarakat. Apabila ada seorang suami yang hanya dapat berdoa untuk kemajuan rumah tangganya tanpa ada tindakan ataupun usaha darinya untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami, bisa dikategorikan seperti hamster. Jika saja hamster ada di alam bebas, mungkin ia akan bertindak lebih dewasa dari para manusia yang pemalas. Padahal tingkat kesempurnaan makhluk seperti hamster jauh lebih rendah dibanding dengan manusia yang disebut makhluk paling sempurna.

Oleh : Bang Adam

Sabtu, 25 Desember 2010

Mahasiswa Masa Kini

Disini terduduk saya dibawah rindangnya pohon yang berambut ikal, tepat dihadapan sedan warna merah lebih tepatnya dihalaman kampus kami. Disini selayang pandang mata saya dapat menjenguk puluhan kepala dari setiap mahasiswa yang berlalu-lalang entah apa yang dilakukan oleh mereka, bukan hanya mahasiswa rupanya tetapi terdapat juga yaa kita sebut saja warga kampus yang jelas melakukan kegiatannya tidak seperti pada umumnya aktifitas mahasiswa yang meragukan. Kenapa saya mengatakan aktifitas mahasiswa dengan ekor “meragukan”, karena saya menerka setiap gerakan yang memenuhi lingkup kampus ini tidak sepenuhnya kegiatan yang seharusnya harus dilakukan oleh seorang yang disebut mahasiswa. Sebutan mahasiswa yang kita kenal ialah sekelompok orang yang terdaftar namanya dalam arsip kampus, yang diberikan nomor mahasiswa, yang diabsen setiap ada kelas, yang diberi tugas membuat paper, yang diberi tugas menganalisa suatu kondisi.

Jadi apakah seorang yang turun dari kendaraan umum lalu membeli minuman di warung, lalu ia menyandarkan bokongnya pada tumpuan beton pinggir tanaman, kemudian mengeluarkan handphone, menekan angka secukupnya kurang lebih dua belas angka, memasang wajah ragu sampai dering yang diinginkan terdengar. Setelah ada balasan dari ujung telepon rivalnya terpampang wajah manis rupawan sembari menyapa balik setiap perkataan yang dilemparkan oleh ponselnya, sejenak ia menyilangkan kaki tak peduli jarum panjang bergerak setiap enam puluh detiknya. Ohh tentu saja ia bersikap tenang mengingat sudah banyak provider yang meringankan remaja tanggung untuk bertegur sapa dengan kekasih tanpa harus pusing memikirkan argo ponsel. Perilaku remaja seperti ini apa termasuk dalam kategori mahasiswa seperti apa yang orang-orang artikan kata mahasiswa itu sendiri.

Saya rubah haluan kepala saya, tertuju mata saya ke arah seorang wanita seumuran saya yang baru saja hendak menutup pintu mobilnya karena dia baru saja turun dari mobilnya itu, terlihat mengeluarkan kotak kecil, kalau tidak salah saya tebak itu kotak yang berisi taburan bubuk putih sering digunakan kaum hawa untuk bersolek. Tuh kan ternyata analisa saya benar, setelah mengeluarkan kotak itu tertujulah mata dia ke arah kaca mobil sebelah kanan. Bersoleklah ia bak pe-makeup para selebriti. Baju ketat, ups saya rasa itu bukan baju melainkan bleizer (maaf kalau penulisan saya salah mengenai blezer). Sepenggal kalimat-kalimat dalam alinea ini mungkin bisa jadi pertanyaan besar dari saya, apakah harus mahasiswa bersolek wah dalam setiap lakon yang dia kerjakan di kampus. Itu tentu sudah menjadi selera dan pilihan dari masing-masing individu. Saya hanya terheran saja. Saya juga tidak munafik bilamana saya senang apabila mahasiswi telihat cantik.

Matahari sudah bergulir pada titik ekstrimnya kumandang adzan dzuhur juga sudah diperdengarkan, haus sudah tentu terasa. Mampirlah saya sejenak ke warung dekat gerbang seraya meraih lemari pendingin yang ada di warung itu. Terlihat dua lelaki sedang mengobrol sembari menyeruput minumannya dan menyelipkan rokok diantara jemarinya. Tak sengaja saya tangkap pembicaraannya yang merencanakan untuk menitip absen kepada temannya yang sekarang berada dikelas dengan alasan sakit, bertolak belakang dengan keadaan yang sedang mereka rasakan. Ironis memang.

Kembali saya ke tempat semula memikirkan hal yang seperti ini apakah benar adanya, apakah ini sudah menjadi ciri khas para mahasiswa dimuka bumi. Atau ini hanya sekelompok mahasiswa yang tergoda oleh bisikan setan, tetapi ini mayoritas atau minoritas. Saya berbicara seperti ini bukan berarti saya mahasiswa yang terpuji. Sadarkah anda dengan kegiatan yang saya lakukan hanya berada di luar kelas padahal teman-teman saya sedang khidmat mendengarkan dosen berdongeng. Apakah saya sama buruknya dengan mereka, apakah saya hanya individu kecil yang sudah terkontaminasi oleh budaya mahasiswa masa kini.

Oleh : Bang Adam