Senin, 27 Desember 2010

Angkutan Perkotaan

Saat itu sudah hampir petang, saya berada disebrang kampus saya untuk berniat menyetop angkot kemudian menungganginya, dengan kata lain saya berperan sebagai penumpang. Kenapa hari itu saya naik angkot, karena saya tidak membawa motor saat berangkat kuliah. Jadi begini ceritanya, saya punya jadwal kegiatan untuk mengantar kawan saya ke bandara pada waktu pagi buta, karena dia ingin terbang ke pulau Maluku, iya benar itu Ambon. Kondisi waktu itu saya dengan sejumlah kawan lainnya yang mempunyai misi sama untuk mengantar dia ke bandara hanya menggunakan dua mobil. Kami sama sekali tidak membawa motor ke tempat dimana kami janjian untuk menjadikan tempat itu sebagai titik kami berangkat ke sana, ke bandara. Ya sudah untuk jam-jam kedepannya saya akan mencoba mandiri tanpa didampingi kuda besi saya untuk mondar-mandir kesana kemari. Kita lompati saja cerita kami dibandara.

Kami melakukan arus balik ke kota tempat tinggal kami setelah kawan kami take off sekitar pukul lima pagi. Dingin saya rasakan, mengantuk pula. Tetapi pada pukul delapan kurang setengah jam saya ada mata perkuliahan sampai sore, alhasil saya di drop dekat kampus. Tidak terasa jarum jam sudah melakukan kegiatan marathonnya dan hari pun sudah nyaris senja. Bergegaslah saya pulang, saya tidak punya rencana untuk nongkrong-nongrong dulu di kampus karena mata saya yang sudah manja sekali ingin diperhatikan keredupannya. Sekitar tiga menit saya menunggu sampai akhirnya tiba juga mobil carry warna biru. Lekas angkat kaki saya sembari menaiki kotak besi itu. Didalam mobil terdapat delapan pasang mata yang menyambut saya, terkecuali si sopir karena ia memandang ke arah depan. Duduklah saya di dekat pintu dengan tujuan dapat merasakan angin yang numpang lewat.

Terdengar ada dua orang membuka pembicaraan, ternyata mereka adalah rekan kerja. Berceritalah mereka tentang kelakuan yang mereka lakukan didalam kantor, tertawa, cekikikan, kadang mereka memasang paras serius untuk pembicaraan tertentu. Mungkin tentang cowok, maklum mereka itu wanita. Selagi mereka berdua sibuk bersenda gurau, berbeda dengan yang lainnya, terlihat diam lebih fokus kepada ponsel masing-masing. Mungkin sedang menanti pesan maupun sedang mengirim pesan. Saya pun meninggalkan pandangan saya ke arah mereka. Lumayan lama waktu berselang, akhirnya kami sampai didepan terminal, ini perhentian terakhir. Seusai turun saya memilih untuk berjalan agak ke depan supaya cepat mendapat angkot, tidak mengetem.
Saya dapati angkot yang sudah lumayan terisi penuh, hanya menyisahkan dua bangku. Jelas penuh ini kan sudah waktu orang pulang kerja, sekolah, maupun kuliah seperti saya. Tidak berbeda halnya dengan keadaan angkot sebelumnya, riuh suara mengisi ruang penumpang. Yang lebih menarik perhatian saya adalah ibu dan anak kecil ini, sejak tadi anaknya merengek terus, mungkin ia tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Terlihat ibunya dengan sabar menjelaskan alasan kenapa tidak dipenuhi permintaan anak itu, kedengaran seperti “mama lagi engga punya uang, mama janji nanti kalo mama punya uang kita beli kapal-kapalan yang tadi ya”. Perlahan tapi pasti penjelasan dari ibunya membuat anak ini seketika diam dari tangisnya.

Lima menit berselang terlihat remaja memakai seragam dan memakai rok abu-abu berbicara keras di ujung ponselnya, sepertinya sedang ribut dengan pacarnya. Tanpa ada raut wajah meminta izin kepada penumpang lain untuk marah-marah, ia pun melanjutkan melempar kekesalannya melalui kata-kata yang hampir kasar didengar. Hah mata saya semakin tidak kuat menahan jaganya, akhirnya terlelaplah saya disitu. Kurang lebih sepuluh menit kemudian saya terbangun, banyak hal yang berubah saat saya tidur. Angkot sudah lumayan kosong, tinggal empat orang yang tersisa, tidak ada ibu dan anak tadi, tidak ada remaja tadi, yang ada satu wajah baru yang duduk dibelakang supir.

Saya bergegas menyiapkan ongkos karena sudah waktunya saya untuk pamit dengan penumpang lain. Akhirnya sampai juga, pegal dan pusing yang saya rasa saat itu. Ternyata permasalahan yang ada dalam keseharian orang-orang boleh juga dituangkan didalam angkutan perkotaan. Entah itu masalah asmara sampai kasih sayang antara ibu dan anak, ini ternyata bukan hal yang tabu dilakukan, kayanya juga tidak ada hubungannya sama pasal-pasal kebebasan berpendapat. Tapi inilah hidup di kotaku, di negriku. Dinding besi angkutan kota dapat menjadi teman yang baik untuk menerima curahan hati dari para penumpang.

Oleh : Bang Adam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar