Disini terduduk saya dibawah rindangnya pohon yang berambut ikal, tepat dihadapan sedan warna merah lebih tepatnya dihalaman kampus kami. Disini selayang pandang mata saya dapat menjenguk puluhan kepala dari setiap mahasiswa yang berlalu-lalang entah apa yang dilakukan oleh mereka, bukan hanya mahasiswa rupanya tetapi terdapat juga yaa kita sebut saja warga kampus yang jelas melakukan kegiatannya tidak seperti pada umumnya aktifitas mahasiswa yang meragukan. Kenapa saya mengatakan aktifitas mahasiswa dengan ekor “meragukan”, karena saya menerka setiap gerakan yang memenuhi lingkup kampus ini tidak sepenuhnya kegiatan yang seharusnya harus dilakukan oleh seorang yang disebut mahasiswa. Sebutan mahasiswa yang kita kenal ialah sekelompok orang yang terdaftar namanya dalam arsip kampus, yang diberikan nomor mahasiswa, yang diabsen setiap ada kelas, yang diberi tugas membuat paper, yang diberi tugas menganalisa suatu kondisi.
Jadi apakah seorang yang turun dari kendaraan umum lalu membeli minuman di warung, lalu ia menyandarkan bokongnya pada tumpuan beton pinggir tanaman, kemudian mengeluarkan handphone, menekan angka secukupnya kurang lebih dua belas angka, memasang wajah ragu sampai dering yang diinginkan terdengar. Setelah ada balasan dari ujung telepon rivalnya terpampang wajah manis rupawan sembari menyapa balik setiap perkataan yang dilemparkan oleh ponselnya, sejenak ia menyilangkan kaki tak peduli jarum panjang bergerak setiap enam puluh detiknya. Ohh tentu saja ia bersikap tenang mengingat sudah banyak provider yang meringankan remaja tanggung untuk bertegur sapa dengan kekasih tanpa harus pusing memikirkan argo ponsel. Perilaku remaja seperti ini apa termasuk dalam kategori mahasiswa seperti apa yang orang-orang artikan kata mahasiswa itu sendiri.
Saya rubah haluan kepala saya, tertuju mata saya ke arah seorang wanita seumuran saya yang baru saja hendak menutup pintu mobilnya karena dia baru saja turun dari mobilnya itu, terlihat mengeluarkan kotak kecil, kalau tidak salah saya tebak itu kotak yang berisi taburan bubuk putih sering digunakan kaum hawa untuk bersolek. Tuh kan ternyata analisa saya benar, setelah mengeluarkan kotak itu tertujulah mata dia ke arah kaca mobil sebelah kanan. Bersoleklah ia bak pe-makeup para selebriti. Baju ketat, ups saya rasa itu bukan baju melainkan bleizer (maaf kalau penulisan saya salah mengenai blezer). Sepenggal kalimat-kalimat dalam alinea ini mungkin bisa jadi pertanyaan besar dari saya, apakah harus mahasiswa bersolek wah dalam setiap lakon yang dia kerjakan di kampus. Itu tentu sudah menjadi selera dan pilihan dari masing-masing individu. Saya hanya terheran saja. Saya juga tidak munafik bilamana saya senang apabila mahasiswi telihat cantik.
Matahari sudah bergulir pada titik ekstrimnya kumandang adzan dzuhur juga sudah diperdengarkan, haus sudah tentu terasa. Mampirlah saya sejenak ke warung dekat gerbang seraya meraih lemari pendingin yang ada di warung itu. Terlihat dua lelaki sedang mengobrol sembari menyeruput minumannya dan menyelipkan rokok diantara jemarinya. Tak sengaja saya tangkap pembicaraannya yang merencanakan untuk menitip absen kepada temannya yang sekarang berada dikelas dengan alasan sakit, bertolak belakang dengan keadaan yang sedang mereka rasakan. Ironis memang.
Kembali saya ke tempat semula memikirkan hal yang seperti ini apakah benar adanya, apakah ini sudah menjadi ciri khas para mahasiswa dimuka bumi. Atau ini hanya sekelompok mahasiswa yang tergoda oleh bisikan setan, tetapi ini mayoritas atau minoritas. Saya berbicara seperti ini bukan berarti saya mahasiswa yang terpuji. Sadarkah anda dengan kegiatan yang saya lakukan hanya berada di luar kelas padahal teman-teman saya sedang khidmat mendengarkan dosen berdongeng. Apakah saya sama buruknya dengan mereka, apakah saya hanya individu kecil yang sudah terkontaminasi oleh budaya mahasiswa masa kini.
Oleh : Bang Adam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar