Selasa, 28 Desember 2010

Sesak Nafas Nominalku

Langit sudah gelap gulita, bintang pun nampak jelas diangkasa. Detak jarum jam pun semakin jelas terdengar karena suasana yang sudah benar-benar sepi. Berdiri saya dibalkon kamar berpegang tangan saya pada tembok penyangga balkon yang dingin karena diterpa angin malam yang kalau dirasa bagaikan menembus rusuk. Suara cicak terdengar seakan merambat melewati dinding. Terpaku muram wajahku apabila mengingat kondisi yang sedang saya alami, entah ini karena melesetnya perhitungan saya terhadap dia atau memang kesalahan saya menggunakannya secara berlebihan tanpa rasa sadar yang tinggi. Hal ini membuat saya berulang kali menarik nafas dalam-dalam, terasa seperti berpakaian safari tetapi tidak memakai celana dalam. Terasa seperti menaiki mobil mercedes benz tetapi tanpa roda, terasa seperti anak baru gede yang tidak memiliki facebook.

Resah, gelisah, mumet hanya itu yang bisa saya rasakan. Nafsu makan berkurang setiap sarapan walaupun akhirnya habis juga menu yang disajikan ibunda. Kembali saya melangkah ke dalam kamar, menutup pintu lalu saya rapatkan kunci. Tumpukkan bantal lalu menyandarkan kepala tepat diatasnya. Terbelalaklah mata saya menatap bola lampu, mengingat hal yang dulu saya pernah lakukan. Tersenyum saya mengendarai motor ke sana ke arah bengkel, memanjakan motor kesayangan ibarat wanita yang haus akan hasrat untuk ke salon. Teringat lagi saat masuk ke tempat makan mahal, menghabiskan waktu didalam sana sampai benar-benar bosan. Teringat lagi saya yang sering menghampiri dagangan orang untuk sekedar mencicipi dan membungkus beberapa darinya untuk dinikmati dirumah.

Tapi kini penyesalan yang kurasa, entah sikap ini wajar atau mungkin saya yang tidak sportif terhadap keadaan. Kasihan ia sekarang, mungkin ia sakit karena perutnya kosong, mungkin ia sendiri tidak ada yang menemani, mungkin ia juga merasa tersingkirkan karena saya yang sudah jarang menjenguknya dengan alasan karena saya sudah tau kondisi ia sekarang, jadi tidak perlu lagi saya melongoknya. Mungkin sekarang ia kurus, kempes, tidak tebal lagi seperti hari kemarin. Memang benar penyesalan datang belakangan, saya sangat menyesal, saya sedih, saya terharu.

Sekarang kau tergeletak lemas jauh didalam sana, entah kapan saya dapat mengisimu kembali dengan puluhan lembar rupiah yang memiliki nominal lima digit angka. Entah kapan saya dapat menggenggammu kembali sambil tersenyum saat membuka dirimu untuk mengeluarkan sejumlah uang dikarenakan harus membayar sesuatu. Karena kesalahanku atau mungkin memang keterlibatan kebutuhanku, kau harus menerima keadaan ini. Mari kita panjatkan kembali doa kepada Tuhan agar saya dan kamu bisa bersama lagi meraih kebahagian dengan rupiah yang ada didalam tubuhmu. Saya sadar tidak bisa hanya doa saja yang dapat mengembalikan kebahagiaanmu, tetapi juga harus ada usaha yang mendukung untuk kita seperti dulu lagi. Dompetku nan malang.

Oleh : Bang Adam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar