Senin, 31 Januari 2011

Gara-Gara Agar-Agar

vanessanessalontoh.blogspot.com
Ketika itu saya masih duduk di bangku SD, untuk tepatnya saya lupa, mungkin masih kelas tiga. Saya juga baru mempunyai satu orang adik, yang masih terus-terusan digendong oleh ibunda. Dia masih balita, benar-benar masih kecil. Saat itu kebetulan umat beragama Islam sedang melaksanakan salah satu kewajiban beragama, yaitu berpuasa. Taukan puasa ? Itu lho menahan haus, lapar, dan hawa nafsu dari imsak sampai adzan maghrib. Saya juga sudah ikut puasa lho, meskipun masih umur segitu dan walaupun hanya sekedar formalitas. Maklum saya masih lugu. Hari itu mungkin hari minggu, karena yang saya ingat ayahanda dan ibunda sedang tidak bekerja, mereka ada dirumah.

Sabtu, 29 Januari 2011

Salah Langkah

Ini kisah beberapa tahun silam, kalau tidak salah ini cerita ketika saya masih duduk dibangku SMP. Pada kisah ini terdapat peran saya dengan ketiga teman rumah saya, yaitu kip, endi dan oceh. Pada masa itu sedang giatnya kami mengotori tembok bersih yang dimiliki rumah orang lain, dengan modal diatas dua puluh ribu kami sudah mendapatkan amunisi untuk hura-hura mengundang huru-hara. Dengan dipersenjatai semprotan berwarna kami memulai menggoreskan dinding dengan menuliskan nama sekolah kebanggaan kami. Kami memulainya dari depan komplek, ini terjadi disaat keadaan sedang lengang, yaiyalah bisa bonyok kami apabila dengan lantang mencoret dinding rumah orang lain disaat keadaan lalu lalang orang terbentang.

Kamis, 27 Januari 2011

Penasaran Berakhir Keluhan

Courtesy sergaptkpn.wordpress.com
Ini cerita disuatu hari, dimana para pekerja maupun anak sekolah memiliki hari tanpa kewajiban formalnya. Ini kisah dimana saya menggeluti hari ditemani seorang bocah kecil. Jadi begini ceritanya. Suatu pagi yang lumayan sudah menjadi siang, saya diperintahkan ibunda untuk membeli sesuatu dipusat perbelanjaan yang tidak begitu besar, tetapi ibunda gemar berbelanja disitu. Tidak begitu jauh sih dari rumah, ya kalau naik motor enggak pakai rem mungkin lima belas menit sampai, itu juga kalau enggak nabrak. Dan sialnya adik saya yang masih menjajaki dunia pertamankanak-kanakan itu mendengar perbincangan kami. Dan ia pun memutuskan untuk ikut berperang. Terjadilah sudah bonceng membonceng antara saya dengan bocah kecil itu.

Selasa, 25 Januari 2011

Pedasnya Si Cabai

Belum juga berakhir kisah miris yang terilis sudah di dalam bangsaku ini, merintih kembali mereka para anak asuh ibu pertiwi ini. Tak hentinya dirundung oleh berbagai macam ancaman mental maupun secara fisik. Yang baru saja naek pamornya karena tersandung kasus penyelewengan pajak, pelaku berinisial GT, siapa sih yang gak tau dia, siapa juga yang enggak diselimuti kemarahan apabila tau kelakuan dia selama ini.  Seorang tahanan negara karena sudah merugikan bangsa dengan penipuannya dapat bebas berjalan-jalan, bertamasya sampai ke luar negri. Saya sih enggak mau bahas bagaimana cara dia meloloskan diri dari kokohnya fisik para penjaga rutan, karena akan panjang urusan dalam hal berceritanya, belum lagi menyeret beberapa nama ya sama saja membicarakan orang lain. Saya takut apa yang saya lontarkan berbeda dengan kenyataannya, nanti malah saya yang tertimpa dosanya.

Sabtu, 22 Januari 2011

Mabuk Jamblang

Ini namanya jamblang
Ini sebenarnya kisah sudah lama terjadi, saya juga agak lupa bagaimana urutan kisahnya, tapi saya coba untuk merangkainya. Ini cerita dimana saya belum terlampau lama lulus SMA, tetapi sudah menduduki bangku perkuliahan. Suatu waktu saya dengan teman-teman SMA saya sedang bermain dirumah mezmew (ia biasa dipanggil begitu), saat itu kami sedang gemar-gemarnya bermain kartu, hmm saya sebenarnya enggak tau nama permainan ini apa, mungkin poker, karena cara bermainnya hampir sama. Jadi setiap kali kalah dalam satu putaran permainan kami akan dikenakan hukuman. Enggak tau ide cemerlang atau bisa dikatakan ide yang bodoh ini muncul darimana, setiap pemain yang kalah dihukum untuk meminum air hujan yang kebetulan saat kejadian memang sedang terjadi hujan yang lumayan lebat.

Jumat, 21 Januari 2011

Benar-Benar Tidak Enak

Malam hari. Baru saja menginjakkan kaki dilantai rumah, badan terasa gak seperti biasanya. Kali ini ia sangat sulit untuk di ajak kompromi. Tapi saya coba saja bawa seperti biasa, mencoba menganggap kalau tidak sedang terjadi apa-apa pada diri saya. Hah enak sekali rasanya memanjakan badan diatas kasur setelah sekian jam beraktifitas. 

Ada niatan untuk menyiduk nasi ke dalam piring, tapi berat banget buat mengajak badan saya, alhasil luputlah sudah niatan untuk makan. Hidung saya rasanya seperti ada yang memberikan lada, gatal dan ingin bersin terus menerus. Saya teringat bahwa dihari sebelumnya tenggorokan saya juga terasa amat gatal. Hmm ini mungkin gejala pilek, lebih kerennya sih Influenza. Sakit kok sombong.

Rabu, 19 Januari 2011

Jendral Kancil

Gaya seorang Muhajirin.
Sudah memasuki ujian akhir semester yang kedua dan selanjutnya. Tingkah soal-soal yang bermunculan semakin saja meresahkan mahasiswa yang memiliki tingkat kesadaran untuk belajar sangat rendah. Apa lagi waktu itu, di hari selasa. Saya dan teman-teman satu angkatan mendapat jadwal untuk ujian Konsep Data Mining. Seperti biasa, yang saya lakukan adalah tidak belajar sama sekali dan menganggap semua soal itu mudah sebelum ujian, tetapi sewaktu berada dalam kondisi didalam kelas hanya tanda tanya dan kerutan di jidat yang menemani. Entah ini suatu pemecahan masalah yang saya hadapi ataukah ini suatu keteledoran dari seseorang. Muhajirin yang kami kenal sebagai ketua kelas kami.

Kami memilihnya karena kami merasa kalau dia memiliki sifat kepemimpinan yang sangat atraktif dan kooperatif (mudah-mudahan kata-katanya bener). Yaa muhajirin, dia memberikan suatu pencerahan, bukan pencerahan sih. Lebih tepatnya lagi suatu bocoran ketika kami sedang haus akan sebuah jawaban (ini bukan berarti musyrik ya). Dengan suatu formasi yang entah terencana ataupun tidak, ia dengan cekatan dapat memberikan suatu jalan keluar kepada teman-temannya untuk dapat bersama meraih suatu penyelesaian. Tepatnya di hari itu, dimana ujian Data Mining berlangsung. Lingkup kecil dari satu ruangan memiliki rasa kacau dalam mengerjakan. Tetapi karena kehadiran jawaban darinya, kekacauan yang terjadi berangsur-angsur pudar.

Minggu, 16 Januari 2011

Home Sweet Home

Disini saya berada sejak saya masih berumur satu tahun, masih imut-imutnya, masih belum mengenal guratan garis kehidupan, masih dibilang polos seperti kertas HVS. Sebuah rumah yang tidak bisa dibilang megah maupun berkelas. Sebuah rumah yang enggak bisa ngalahin Gelora Bung Karno. Sebuah rumah yang enggak tetap kuat berdiri kalau tertimpah pesawat boing. Tapi didalam rumah ini saya mendapati banyak kisah. Didalamnya terdapat lima kepala, mereka adalah ibunda, saya dan ketiga adik saya yang masing-masing masih mejajaki bangku sekolahan. SMA, SMP, TK. Ayahanda tidak berada dirumah dikarenakan sedang mendapat tugas diluar kota, bahkan diluar pulau. Entah kapan beliau dapat berkumpul bersama kami lagi disini, hanya Allah dan atasannya yang tau.

Jumat, 14 Januari 2011

Blues Berakar Dari Kaum Muslim

Terkejut saya ketika iseng menggunakan mesin pencari idola kita bersama, mereka sering menyebutnya, ya benar “Mbah Gugel”. Apa sih yang enggak dia tau ? (Tapi jangan sampai umat manusia menyembah dan menganggap Google sebagai Tuhan, syirik itu namanya, dosa, masuk neraka). Kembali lagi membahas keterkejutan yang saya temukan, pada suatu blog yang sebenarnya mungkin orang ini juga sudah mendaur-ulang kembali cerita tentang sejarah musik Blues. Atau mungkin memang saya sendiri yang terlambat dalam menunjukkan artikel ini, istilah sekarang basi, ya namanya juga pemula untuk ini itu, lebih baik terlambat dari pada tidak tau sama sekali. Didalam artikel yang terpampang dalam blog tersebut diceritakan bahwa musik Blues tersebut berakar dari Kaum Muslim. Wah .. keren kan ?!!. Untuk kelanjutannya kita simak bersama.

Kamis, 13 Januari 2011

Posisi Untuk Prestasi Itu Penting (13)

Hari ini merupakan kamis kedua pada bulan Januari, lebih tepatnya lagi tanggal tiga belas. Hari ini juga merupakan ujian akhir semester saya yang pertama. Terduduk sudah saya didalam kelas. Didepan saya terdapat Si Melati (sebut saja dia begitu), ke arah diagonal dari tempat duduk saya terduduk Si Raflesia (sebut juga dia begitu). Kertas soal sudah diberikan, mari kita kerjakan. Terbelalak mata saya ketika baru saja melihat soal-soal awal pada kertas tersebut. Tersuguh rapih puluhan soal hitungan yang sebenarnya saya mengerti untuk materi ini, tapi berhubung saya tidak belajar jelaslah sudah hampa ku rasa. Mencoba menoleh ke kanan dan kiri, ke depan, mustahil ke belakang, bunuh diri namanya karena para pengawas memposisikan dirinya dibelakang kelas. Dan TAAARRAAA !!! Terlihat jelas kertas soal milik Raflesia menggoda hasrat saya untuk melihat. Pada kertas soal milik Raflesia terdapat banyak coretan hitung-hitungan yang sudah tidak tertata rapih antriannya, disertakan juga coretan pada option jawaban, jelaslah itu jawaban miliknya. Enggak pake lama langsung saya ringkus jawaban tersebut walaupun hanya sedikit.

Rabu, 12 Januari 2011

Dilema Jangan Terlena

Malam ini di dalam kamar, saya lihat keluar ke arah jendela, tidak ada matahari yang menampakkan dirinya, yaiyalah ini kan sudah malam, mana ada matahari. Sejenak berfikir jadi apa saya setelah lulus nanti, IP enggak ketulungan naik turunnya, kemampuan enggak begitu terkopetensikan (tau deh bener apa enggak tulisannya, emangnya saya pikirin), belum lagi permintaan dari setiap perusahaannya nanti yang mau ini mau itu. Enggak cuma perusahaan, warung kelontong juga apabila mencari karyawan pasti menoleh pada mereka yang memiliki keuletan dan kemampuan yang mantap. Pusing emang kalau diputer lagi nih ingatan kembali ke masa dimana saya menentukan jurusan pada tahap awal kuliah. Kenapa harus ini, kenapa enggak yang itu. Maklumlah usia muda tidak terlalu matang untuk berfikir ke arah depan, yang ia tau cuma berangkat kuliah dan meminta uang bayaran saat waktunya tiba.

Apa bisa saya membanggakan orang tua saya, padahal sampai saat ini belum bisa menunjukkan prestasi dalam bidang pendidikan. Apa bisa juga saya menghasilkan penghasilan yang sekiranya diatas rata-rata sarjana pada umumnya. Geleng-geleng sambil tertunduk malu, itu pasti bahasa tubuh yang saya keluarkan. Down .. down .. down .. benar-benar pusing saya dibuatnya. Rubah posisi saya menaruh badan untuk celentang diatas kasur. Lagi-lagi kepikiran umur berapa saya bisa melamar seorang wanita yang kelak akan jadi ibu dari anak-anak saya. Bisa membelikan mereka rumah yang layak untuk disebut tempat tinggal, tidak seperti rumah-rumah yang terdapat dibantaran kali disana itu, tidak terlihat seperti rumah, tetapi bagi “mereka” itu rumah, enggak tau deh nyaman apa gelisah yang mereka rasa.

Bisa juga gak ya saya memberangkatkan orang tua saya untuk pergi haji (amien Ya Allah). Ini memang bisa disebut sebuah dilema, bikin hati jadi gak tenang, bikin badan gemeteran, bikin males makan, malas mandi, malas kuliah (bukan jadi alasan). Tapi seharusnya (kata mereka) ini menjadi sebuah motivasi, ya bisa dikatakan ini menjadi sebuah cita-cita atau target untuk hari esok, esok dan esoknya lagi. Seharusnya (kata mereka) kita harus penuh semangat untuk mewujudkannya. Emang sih perasaan semangat yang amat membara kadang-kadang muncul sampai-sampai saya merasa seperti rambo yang sedang ikut berperang. Tapi tidak bisa dielakkan juga rasa semangat itu mudah pudar dengan sendirinya.

Mana semangat mudamu ? Hah itu kan celotehan jaman dulu atuh, sekarang anak muda sudah ngebelakangin yang namanya realita, lebih menggantungkan hidupnya pada apa yang orang tua punya. Jadi susah deh buat jadi dewasa. Tapi sifat penuh semangat dan dewasa dalam menyikapi masalah hidup harus segera dimiliki. Semoga ini bukan hanya menjadi sebuah wacana tanpa akhir yang bahagia. Dimana malumu hey kawula muda ?!!

Oleh : Bang Adam

Selasa, 11 Januari 2011

Martabak Racing

Hari itu sudah petang menjelang malam, kalau Indonesia bagian barat sih baru aja selesai magrib. Saya disuruh ibunda membeli martabak diseberang komplek, ya sudah saya pilih untuk menggoes sepeda karena akhir-akhir ini entah kenapa saya sedang suka menggunakan kendaraan ini, ya hitung-hitung go green,menyehatkan, irit bensin juga, cuma ke depan komplek doang masa sih naek motor, manja banget. Sudah memakan beberapa menit sampai juga saya di tukang martabak, lumayan keringetan, dingin lagi keringetnya. “Bang martabak manis kacang meses dua ye !” cakap saya, saya emang cakap. Hehe. Bukan itu yang saya maksud, akh lanjutlah. Selang beberapa waktu terdengar dari kejauhan raungan motor (sebut saja bunga) tetapi tak kunjung terlihat batang rangka eeeeii itu motor, tiba-tiba meletuslah serangkai kata dari abang martabak begini bunyinya “akhh tuh motor berisik doang bunyinya, tapi larinya gak ada !”.

Ngeh dengar ocehan si abang saya langsung respon saja seraya mencari teman ngobrol menanti martabak selesai dibuat “Emang kalo motor bunyinya kenceng harus kenceng juga bang larinya ?” ujar saya kepada lelaki yang kira-kira sudah kepala empat. “Seharusnya sih gitu dek, dulu waktu saya muda saya juga maen balapan lho ! Saya juga suka ikut-ikutan balap liar di kampung saya …. “ (si abang terus menyerocos tentang pengalamannya dahulu kala). Saya mendengar dan saya dapat membayangkan betapa gagahnya si abang waktu remaja, sudah seperti geng motor kaya yang sering muncul di siaran berita pagi. Tapi si abang menegaskan kalau dulu dia sama teman-teman motornya enggak suka bikin ulah dengan masyarakat sekitar, pure balapan liar saja (emangnya balapan liar enggak ganggu ketenangan warga ya ?).

Si abang juga sempat menyebutkan berbagai macam onderdil motor dengan cara-cara menyeting benda-benda tersebut. Intinya sih saya percaya deh sama hobi si abang yang terdahulu, seorang joki motor entah handal apa masih kacangan (maap ya bang). Akhirnya dua tumpuk martabak selesai dibuat olehnya, langsung saja saya sambut sambil member ongkos itu martabak. Sembari mencari uang kembalian si abang bertanya kepada saya “adek punya motor ?”, saya jawab “iya, punya bang, tapi saya enggak suka ikut balap-balapan !”. “Bagus itu, pokoknya jangan ikutan kegiatan yang enggak bener, kasihankan kamu punya orang tua sedih. Anak saya juga sudah saya nasehatin” balas dia. “iya bang, makasih nih ceritanya !” jawab saya seraya meninggalkan kedai miliknya.

Hebat deh cerita si abang dari balapan liar, tobat, sekarang jadi tukang martabak. Gapapa ye bang, yang penting halal terus juga abang enggak ikut kegiatan yang enggak bener. Hehehe. (maap ye bang saya balikin) hahaha …

Oleh : Bang Adam

Senin, 10 Januari 2011

Chip Ohh Chip

Ini kisah tentang lingkup pergaulan saya sekitar kampus, ini cerita dimana permainan virtual yang di akomodasikan oleh salah satu jejaring sosial. Sebernarnya permainan ini sudah lama sekali mencuat dipermukaan, namun memang yang namanya musim bisa saja terulang lagi masa kejayaan permainan ini. Sekarang lagi digemari kembali oleh teman dekat kuliah saya, sampai-sampai jadi trending topik didalam kosan. Kata–kata raise, fold sampai mengemis chips (modal/harta dalam game tersebut) pada teman sering tertangkap oleh telinga. Memang sangat mengasikkan bermain itu apalagi dalam satu meja virtual bersama teman. Saling mengejek, saling memuji (kalau ada maunya).

Gak sedikit yang baru-baru saja berusaha untuk mempelajari game ini, nanya-nanya ke temen sampai terjun langsung ke medan perang. Permainan ini pun bisa disebut membuka lapangan kerja baru, menjual chip dengan volume yang banyak ditukar dengan rupiah yang patut diperhitungkan jumlahnya dapat saja terjadi. Baru-baru ini teman saya bisa membeli sebuah gitar listrik, ini akibat dari tekunnya ia mengais chip dengan cara bermain manis tanpa henti. Hebat deh memang. Ada juga yang sudah diberikan modal, tapi tetap saja bangkrut. Entah ini faktor keberuntungan yang kurang berpihak atau faktor otak yang bebel (au deh bebel itu bahasa mana).

Jumlah chip juga sering mereka pamerkan, ada juga yang terdiam saat ajang memamerkan tersebut digelar, entah itu dia tidak suka bermain atau dia sedang miskin chip. Sampai-sampai ada yang mengambek karena permohonan minta chip pada teman lain tidak terpenuhi. Ironis memang melihat keadaan ini. Gak tau deh sifat kaya gitu pencerminan kedewasaan atau masih anak-anak. Persetanlah bagi mereka. Buat mereka chip tinggi adalah pertanda kuat diantara mereka. Jadi seberapakah kemampuan anda dalam hal ketelitian membaca arus permainan, itu mempengaruhi kemakmuran anda untuk kedepannya. Pertaruhkan gengsi dengan nominal uang virtual.

Oleh : Bang Adam

Sabtu, 08 Januari 2011

Merana Tanpa Air

Waktu itu tanggal enam dibulan januari ditahun yang baru ini, puluhan ember maupun wadah yang dapat menampung air berserakan ditempat cucian sampai kamar mandi dirumahku. Fenomena ini sudah berlangsung sejak kemarin, saat dimana ada pengumuman tentang pemutusan air PAM untuk sementara, mungkin airnya lagi beku jadi gak mau ngalir atau lagi ngambek karena sudah jenuh tiap hari kerjaannya cuma mengalir aja. Mana saya tau masalah pribadi dia, yang pasti ini membawa dampak buruk bagi kehidupan saya. Hal ini katanya berlangsung selama tiga hari. Dalam lingkup waktu yang sudah ditentukan hanya ucapan ibunda yang selalu saya ingat “Pakai air seperlunya aja, jangan boros. Mandi pagi aja, sore gak mandi juga gak apa-apa. Keadaan darurat”. Yaa sejujurnya sih emang saya mandi cuma pagi doang setiap harinya, bahkan kalo libur tiba tidak mandi seharian dengan alasan tidak ada acara keluar rumah.

Sudah-sudah jangan membicarakan masalah kejorokan saya, tapi saya tetap wangi kok, sumpah deh. Kembali kita ke problematika yang sedang saya hadapi saat itu. Hari ini, hari kamis ini sebenarnya ada jadwal kuliah, tetapi memang setan selalu menang untuk masalah ini jadi saya pastikan saya tidak berada pada tempatnya disaat dosen mengajar. Sudah pukul sembilan pagi, tampungan air sudah menipis ini dikarenakan ibunda dan adik-adik saya sudah memakainya sejak pagi. Hah demi mengirit air sampai hari esok alhasil saya pergi saja ke kosan teman, dengan niatan menumpang mandi. Dengan kondisi kucel and the kumel saya melintasi jalan raya. Akhirnya sampai di kosan Fachri, hmm melihat keadaan bak mandinya yang terisi penuh langsung saja saya tergiur segera mengeluarkan perlengkapan mandi dan langsung bersafari didalam sana.

Segar sekali air ini, hanya itu yang saya pikirkan. Saya juga merasakan lengket tubuh saya meluntur karena bilasan air-air ini. Saya juga bisa membuang isi perut saya yang sudah saya tahan sejak kemarin malam, disini saya bisa leluasa memakai air. Bisa nyanyi-nyanyi lagi sambil main air, bisa ‘nongkrong’ sepuasnya, gak kaya dirumah untuk saat itu. Persetan deh sama gunjingan teman yang melihat saya menumpang mandi, yang penting tubuh saya dapat segar kembali, karena sumber air sudekat. Dan ketika jumat pagi datang, wuih begitu lancarnya air yang keluar dari mulut keran, tentu ini dapat merubah nasib saya untuk pagi ini, tidak seperti kemarin. Enggak kebayang deh kalau fenomena ini berlangsung dalam jangka waktu yang teramat panjang. Bisa tertera tanggal kadaluarsanya dah dibadan saya. Saya juga tidak menyesal memakai air PAM walaupun kadang-kadang muncul keadaan seperti ini. Di banding menggunakan jet pump, mengkonsumsi air PAM itu sudah mendukung perlakuan baik terhadap tanah.

Karena air PAM itu berasal dari gunung, sedangkan menggunakan jet pump kita menyedot air dari dalam tanah yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan pengikisan pada tanah. Gak kebayangkan kalau tanah rumah kalian tiba-tiba ambles. Ngeri lho !

Oleh : Bang Adam

Rabu, 05 Januari 2011

Sreeeeekk .. !!!

Hari ini senin pertama di tahun 2011, hari ini juga saya mempunyai kegiatan wajib yaitu berkuliah, bermahasiswa dan bersosialisasi dengan mereka yang menganggap dirinya naga. Hehe (baru pernah ketawa). Ya tak apa laa, mencoba untuk tampil lebih gurih dan santai dalam menulis. Kita lanjut lagi, naga itu ungkapan dari mereka untuk diri mereka sendiri. Memang gila anak jaman sekarang, manusia kok dibilang naga. Hari ini dengan terpaksa saya menggas si Tamara ke arah utara, ke kampus kelapa dua, yang mahasiswa setempat bilang kampus E. Sebenarnya saya ke kampus hanya ingin memberikan empat lembar kertas muka tulisan ilmiah saya kepada dosen pembimbing yang saya miliki, sembari menemani kawan saya untuk bimbingan. Jadi aja saya memberangkatkan diri, tapi sebelum saya menempatkan pantat motor tepat pada parkiran kampus, saya mampir terlebih dahulu ke ruko dokter kulit langganan ibunda untuk membeli obat titipan ibunda, maklum beliau kan wanita karir jadi tidak sempat untuk ke sana kemari sembarang waktu. Sombong.

Selepas saya mendapatkan apa yang saya cari di ruko itu, langsung saya meluncur ke TKP selanjutnya untuk melancarkan tujuan awal. Bergulir sudah roda ukuran lumayan kecil ini menyusuri jalanan lapang jantung kota Depok, ya benar Margonda. Setelah melewati gerbang Depok saya mengambil arah bawah jembatan lalu melengkung ke arah kanan, lalu lempeng saja ke depan pasti lewat kampus saya. Langsung saja saya parkir, menyisipkan motor saya diantara motor-motor lainnya. Saya hampiri si naga-naga itu, jumlah mereka tidak sebanyak biasanya, mungkin males untuk melangkah ke sini, ke kampus. Setelah lumayan membuang waktu bersama mereka, akhirnya saya berangkat untuk misi selanjutnya tetapi saya mendapati dosen pembimbing saya di kampus G. berangkatlah saya ke kampus tetangga.

Ciiiiaaaattttt … !!! Langsung aja lompat kepermasalahan yang ada, jadi begini sewaktu saya kembali menginjak kaki saya di kampus awal, saya merangkak ke arah parkiran untuk menculik motor saya dengan niat melanjutkan sisa waktu hari ini ke kosan kawan. Setelah saya mendapati motor saya, memulai saya untuk menungganginya, dari belakang terdengar suara lelaki yang tidak sabar untuk menunggu saya untuk segera mengeluarkan motor saya, dia tidak sabar untuk mengantri rupanya. Ketika saya tengok ternyata dia (kawan kelas lain), saya kira siapa. “iye tunggu sebentar” sahut saya mengingatkan. Mendorong motor saya dengan kaki saya ke depan ke arah seharusnya, lalu Sreeeekkk !!!! akh apa yang baru saja terjadi, suara asing apa itu yang baru saja saya dengar.

Setelah si Boleng (kawan yang tadi tak sadar mengantri) lewat, saya longok ke arah sumber bunyi itu bermuara, dan ternyata terdapat lubang yang tidak beraturan dan cukup besar pada selangkangan celana saya. Ini salah satu celana yang sangat saya sukai, ini celana yang sudah hampir empat tahun menemani saya bergaul di seantero kampus. Ini benar-benar sangat memalukan, hanya udara dingin yang saya rasakan sewaktu saya berada dijalan. Angin sekitar tidak jarang untuk sekedar mampir bersikulasi tepat pada lubang besar yang baru saja terbuat karena faktor betotan keras oleh otot paha saya. Hah hanya rasa haru yang menghiasi sanubari ini selama diperjalanan ke arah jalan pinang. Sesampainya di kediaman sementara Fachri, saya jenguk kembali keadaan celana saya yang saya rasa parah dia memiliki luka. Pasrah dan sabar yang tersirat dibenak saya, Tuhan pasti memberikan solusi untuk perkara ini. Ya Allah tunjukkan kebesaran-Mu pada celana kesayangan ku ini. Amien.

Dan satu lagi, untuk saat ini saya tidak sependapat dengan ungkapan “MATI SATU TUMBUH SERIBU”. Bayangkan saja apabila saya kehilangan satu celana, lalu digantikan dengan seribu celana. Siapa yang mau mencuci sampai tahap menstrika ?

Oleh : Bang Adam

Senin, 03 Januari 2011

Jalur Menengah Pertama

Ini cerita sewaktu warna putih bitu melekat dengan tubuh saya. Ini sudah tahun ketiga saya mengenakan seragam ini. Saya mempunyai dua orang sahabat yang selalu menemani saya saat melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Mereka adalah Johan dan Ludi, Johan merupakan kawan yang telah saya kenal semenjak SD, lebih tepatnya lagi pada waktu saya menjajaki kelas enam SD. Sementara Ludi baru saya kenal disaat kami baru saja menunggangi jenjang menengah pertama. Rumah kami masih terdapat dalam satu papan nama komplek, hanya dipisahkan oleh tiga kepala RT. Setiap harinya Johan selalu menyantroni rumah saya ketika berangkat sekolah, karena rumah Johan memiliki lokasi paling jauh dengan jalur yang sering kami lalui untuk ke jalan raya. Ketika saya sudah siap, kamipun mewujudkan hasrat kaki kami untuk melangkah menuju kediaman Ludi, tepat di depan mesjid kami hentikan sejenak langkah kecil ini untuk menunggu Ludi keluar dari peraduannya. Perjalanan ke arah kediaman Ludi melewati jalan pinggir kali.

Sabtu, 01 Januari 2011

Hanya Sebongkah Pertanyaan

Bukan lagi menjadi sebuah rahasia, bukan lagi menjadi berita yang disembunyikan, bukan hanya menjadi buah bibir mereka. Ini memang kenyataannya, ini memang kejadiannya. Nyata, benar-benar riil terjadi. Bukan bermaksud memiliki kesan merendahkan maupun menjatuhkan. Ini hanya sebongkah pertanyaan yang tidak perlu lantang untuk di jawab. Ketika nurani mulai tersentuh, menyadarkan kalian akan sandiwara selama ini. Yaa sandiwara yang disutradarai oleh Sang Pencipta.

Untuk mereka yang disebut kaum elite borjuis, pernahkan kalian tidur dengan gusar ketika hujan lebat menghujam rumah kalian. Pernahkah kalian hanya meminum air putih untuk mengisi kosongnya perut kalian dalam kurun waktu satu hari penuh. Penahkah kalian memberi pengertian kepada anak kalian agar tidak terus merengek meminta karena kalian tidak memiliki uang. Pernahkah kalian berjalan kaki puluhan kilometer hanya untuk mendapatkan air. Pernahkah kalian berpeluh keringat seharian hanya untuk mendapatkan uang yang nyatanya memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Pernahkah kalian terbelalak dalam kerja kalian. Pernahkah kalian hanya memakan umbi-umbian dalam satu hari. Pernahkah kalian berlinang air mata disaat tidak ada biaya ketika anak kalian sakit. Pernahkah kalian tidak bisa tidur karena kondisi rumah yang tidak layak. Pernahkah anak kalian bersekolah tanpa alas kaki. Pernahkah anak kalian bersekolah tanpa seragam lengkap. Pernahkah kalian mengajak keluarga kecil kalian ikut bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Pernahkah kalian memakan nasi aking.

Untuk kalian yang mereka sebut kaum pinggiran, pernahkah kalian memakai safari saat pergi bekerja. Pernahkah kalian bermalas-malasan seharian. Pernahkah kalian menghirup udara dingin dari sebuah mesin diruang tamu kalian. Pernahkah kalian mengajak anak-anak kalian untuk bertamasya. Pernahkah kalian mempunyai waktu untuk bersenda gurau dengan anak kalian. Pernahkah kalian membayar SPP sekolah anak kalian sebelum batas waktu yang ditentukan. Pernahkah kalian tidur tenang tidak memikirkan perut kalian untuk hari esok. Pernahkah kalian berbelanja puas didalam pusat perbelanjaan ibukota. Pernahkah kalian memakan jagung pop sambil menyaksikan layar lebar. Pernahkah kalian tidak berkeringat saat bekerja. Pernahkah kalian memberi uang jajan secara rutin kepada anak kalian.

Masih banyak pertanyaan yang lebih mengiris hati, masih banyak pertanyaan yang dapat mengoyak batin, masih banyak pertanyaan yang dapat melukai hati, masih banyak diluar sana kenyataan yang memang bertentangan. Masih banyak dari mereka kaum pinggiran yang tidak bisa menerima kenyataan lalu berhujung kematian pada seutas tali. Masih banyak dari mereka kaum pinggiran yang tidak bisa menerima kenyataan lalu bermuara mereka didalam kurungan. Masih banyak dari mereka kaum pinggiran yang tidak bisa menerima kenyataan lalu berakhir dalam kamar isolasi. Masih banyak dari mereka kaum elite yang merogoh kocek kaum bawah untuk berpesta pora. Masih banyak dari kalian kaum borjuis mengasumsikan hidup ini bagai permainan playstation yang selalu ada cheat untuk ini dan itu.

Hidup ini mempunyai hakim yang tegas, hidup ini memiliki pengawas yang tak kenal rekayasa air mata, hidup ini diawasi pelindung yang tidak bisa dilucuti.

Oleh : Bang Adam