Ini cerita sewaktu warna putih bitu melekat dengan tubuh saya. Ini sudah tahun ketiga saya mengenakan seragam ini. Saya mempunyai dua orang sahabat yang selalu menemani saya saat melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Mereka adalah Johan dan Ludi, Johan merupakan kawan yang telah saya kenal semenjak SD, lebih tepatnya lagi pada waktu saya menjajaki kelas enam SD. Sementara Ludi baru saya kenal disaat kami baru saja menunggangi jenjang menengah pertama. Rumah kami masih terdapat dalam satu papan nama komplek, hanya dipisahkan oleh tiga kepala RT. Setiap harinya Johan selalu menyantroni rumah saya ketika berangkat sekolah, karena rumah Johan memiliki lokasi paling jauh dengan jalur yang sering kami lalui untuk ke jalan raya. Ketika saya sudah siap, kamipun mewujudkan hasrat kaki kami untuk melangkah menuju kediaman Ludi, tepat di depan mesjid kami hentikan sejenak langkah kecil ini untuk menunggu Ludi keluar dari peraduannya. Perjalanan ke arah kediaman Ludi melewati jalan pinggir kali.
Jalan yang kami lalui ini merupakan jalan yang kami rasakan mempunyai nuansa berbeda dibandingkan dengan jalan utama pada komplek kami, suara air yang berasal dari kali, kicau burung dari pepohonan sekitar, maupun suasana sepi yang teramat menenangkan dipagi hari. Saya juga sering mencorat-coret dinding rumah warga sekitar tempat ini dengan menggunakan pilox untuk menuliskan nama sekolah saya, maklum hal ini dianggap sudah menjadi trend bagi kaum putih biru. Seusai meraih Ludi, kami lanjutkan langkah yang payah ini untuk menuju tepi jalan raya, yaa didepan komplek tetangga ini kami biasa menanti bis jurusan depok dua yang akan mengantarkan kami sampai Samsat kota Depok. Tak jarang kami mendapatkan bis hampir pada waktu dimana gerbang sekolah kami akan ditutup, dengan kata lain kami sudah membuang waktu ke sekolah hanya untuk menunggu bis. Belum lagi kondisi bis yang kami dapatkan, begitu sesak dengan penumpang yang mayoritas adalah pelajar, entah itu SMP maupun SMA. Jadilah kami berdesakan tidak mau kalah dengan penumpang lain, tidak peduli status ia disekolah adalah ketua kelas maupun pengurus OSIS, karena posisi kami didalam bis ini adalah sama, yaitu sebagai penumpang yang mempunyai kewajiban untuk membayar ongkos.
Tak jarang juga kami berdiri dipintu bis, bergelayutan ibarat orang utan yang sedang beratraksi di depan khalayak ramai. Menarik napas panjanglah kami apabila mendapatkan kursi buluk yang disediakan oleh pemilik bis untuk sah di duduki para penumpang, tak kenal mereka itu lelaki maupun perempuan, kaya atau pun miskin. Setelah melewati perjalanan yang lumayan melempem, sampailah kami di penghujung perhentian bis ini, jalan Merdeka, dimana terdapat gedung Kecamatan, Samsat, Balai Rakyat, maupun sekolah kami yang terjajar rapih seperti orang yang mengantri di loket.
Menghabiskan waktu kurang lebih enam jam sudah kami disekolah. Kami pun mendapati jam pulang sekolah, perjuangan kami untuk pulang pun teramat berat. Menanti bis yang melewati ujung jalan Merdeka ini, berebut untuk menginjakkan kaki pada pelataran pintu bis, belum lagi bila terjadi pertengkaran para pelajar beda sekolah, biasa mereka sebut tawuran.
Bila terjadi hal seperti itu yang kami lakukan adalah lari ke arah gang perumnas sekitar sekolah untuk melindungi diri dari serangan anak sekolah beringas itu. Bilamana sekolah kami sedang mendapat rating tinggi dalam pertempuran, rasa aman kami dapatkan. Apabila posisi kami sudah berada di dalam bis pada saat pulang sekolah, perjuangan ini belum berakhir jua, bis kami ini harus melewati beberapa sekolah yang juga sudah bubar keadaannya. Kadang terjadi adu bacot, sampai pemalakan pun dapat terjadi dengan rapih di dalam bis. Di dalam bis ini juga kami merasakan lelah dan kantuk yang teramat menyerang. Kadang kami pun tertidur pulas hingga bisa terlewat sudah tempat kami seharusnya turun.
Betapa leganya hati apabila sudah sampai ditanah yang kami tuju ini. Bercanda kembali, bersua kembali, langkah lunglai tak peduli. Kami suka saat-saat seperti ini. Kadang kami hendak mampir ke warung untuk membeli minuman. Ludi pamit terlebih dahulu, jelas karena rumah dia yang lebih dekat dengan arah depan. Setelah Ludi pulang, saya dan Johan pun berpisah dipersimpangan jalan. Memori seperti ini yang suka saya rindukan, kadang kami juga pernah bertengkar karena hal yang sebenarnya sepele. Tapi inilah kami, inilah kegiatan kami, inilah kondisi yang sering kami jumpai setiap harinya. Putih biru, kalian membuat saya haru.
Oleh : Bang Adam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar